Hujan Badai
(Oleh : Nafia)
Angin sepoi-sepoi membelai lembut tubuhku. Pohon-pohon itu pun ikut menari. Di bawah langit mendung kuangkat kepalaku. Hujan yang tak mau turun karena nyaman dengan langit, hingga menciptakan mendung yang indah sore ini. Sedang di bumi terlupakan bunga layu yang menunggu air hujan untuk tetap hidup. Tapi aku tidak sedang membicarakan hujan, langit, maupun bunga layu.
Suara gemuruh membuatku tersadar dari lamunan, lalu kulihat jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul tiga kurang lima belas menit. Akupun segera beranjak dari dari sana dan segera masuk ke gedung fakultas. Ini merupakan kelas terakhirku di Jumat sore sebelum memulai akhir pekan, sedikit malas tapi teringat masa depan yang misterius aku tidak boleh hanya bersantai. Beruntungnya di masa perkuliahan ini aku dikelilingi teman dekat yang positif, bukan yang saling membunuh demi nilai terbaik, dua dari mereka aku kenal sejak semester awal dan yang tiga dari program Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Selesai kelas aku berpisah dengan mereka berlima, memang akhir-akhir ini aku menjauh dari semua orang karena keadaan hatiku masih belum membaik, aku takut mereka kena imbas emosiku. Ah, aku tiba-tiba teringat barangku yang tertinggal di sekretariat organisasi. Aku memutar arah jalanku menuju Gedung Kreativitas Mahasiswa (GKM), di sepanjang jalan kunikmati sejuknya senja Malang yang mendung. Setibanya di sekretariat aku bernapas lega kotak makan tupperware itu masih ada di sana, kalau hilang bisa-bisa dicoret dari kartu keluarga. Dari sini kulihat langit semakin gelap, aku keluar dari sana dengan terburu-buru, hingga tiba di tangga aku terhenti ketika melihat seseorang.
“Haykal..?”
Aku tersenyum. Satu persatu memorinya bersama Haykal kembali terbuka.
Dia, Auzan Haykal Danantya, orang yang paling kubenci di awal KKN dan yang paling kucintai sampai detik ini. Aku membencinya karena hal yang konyol, saat itu aku bersama teman-teman sekelompok yang lain menunggu satu orang yang lama sekali datangnya, itu Haykal. Setelah satu jam menunggu, cowok itu turun dari motor ojol dan menghampiri kami dengan tangan kosong. Aku yang sudah naik pitam pun langsung menyemprotnya, “Kamu gak bawa helm?!” Gila, disitu emosiku tak terkontrol. Bayangkan saja, sejak jam enam pagi aku tiba di fakultas dengan keadaan perut kosong dan cowok itu datang jam sembilan, tanpa helm, dan parahnya lagi dia tidak mau mengemudi membiarkan salah satu cewek di sana harus mengemudi sendirian. Ya cewek itu aku.
Sejak saat itu selama satu minggu KKN aku tidak pernah berinteraksi sedikitpun dengan Haykal, karena memang kami ada di kelompok program kerja yang berbeda dan aku membencinya. Namun di minggu kedua, takdir berkata lain, mengharuskan aku dan Haykal bersama di program kerja dadakan, itu program kerja membuat video profil desa. Kebetulan aku suka editing video dan dia suka mengambil video. Sialnya tenggat akhir program kerja ini ada di tengah masa KKN jadi kami berdua harus mengerjakan itu secepat mungkin.
Hari itu, hari ketiga belas KKN. Dari kejauhan aku melihat Haykal sibuk mengambil video salah satu petani dengan kamera, sedang aku di sini mengambil video dengan ponsel untuk keperluan konten instagram dan tiktok akun kelompok kami. Tak lama setelah aku berhasil mendapat beberapa video, salah satu temanku mengabari bahwa dosen pembimbing kami sudah tiba di penginapan cewek. Akupun buru-buru berlari ke arah Haykal dan mengajaknya pergi. Namun kami ditahan sebentar oleh salah satu petani, beliau ingin memberi kami buah tangan sekarung selada. Mau menolak tidak enak, jadi kami menerimanya dengan sepenuh hati.
“Fa, tunggu situ,” Haykal melarangku bergerak, sedang dia berlari menuju jalan keluar sawah. “Jalan Fa!” Teriaknya dari sana.
Pikirku apa, ternyata dia merekam diriku yang sedang membawa sekarung selada. Dan ketika kami melihat videonya, hasilnya bagus, tapi penampilanku benar-benar seperti warga lokal yang berbahagia dengan hasil panennya. Haykal tertawa melihatnya, katanya video ini harus dimasukkan ke video profil desa dengan tag #WarlokPanen.
Itu titik dimana kebencianku terhadap Haykal berubah menjadi rasa kagum. Tidak ada alasan yang begitu jelas kenapa aku mengaguminya, padahal dia terlihat lebih menjengkelkan ketika aku mengenalnya. Sejak hari itu, aku dan Haykal semakin dekat, bahkan kami dicomblangkan oleh teman-teman yang lain. Haykal pun santai, gilanya dia dengan enteng menyebutku 1bojo. Akupun santai juga dan menganggap hal itu sebatas candaan, toh setelah KKN kita tidak akan bertemu seintens ini lagi.
Hari demi hari berlalu seperti biasa, hingga tibalah kami di hari terakhir KKN. Malam ini kami sekelompok berencana membuat malam perpisahan di balai desa, sebenarnya ini hanya kedok saja, ada dua sejoli di kelompok kami (tentu bukan aku dan Haykal) yang sepertinya sudah saling jatuh cinta namun tidak berani mengungkapkan, akhirnya kami buatlah ajang confess berkedok malam perpisahan.
“Ar ngipas arangnya yang bener dong, bojoku kena asapnya nih,” Haykal menegur Arkan yang mengipas ke arahku.
“Perhatian banget sih yang,” godaku balik, memang biasa seperti itu.
“Ntar malem yang confess kayaknya Haykal sih, bukan si kordes,” sindir Arkan, tentu diikuti teman-teman lainnya yang tak ada henti.
Singkat cerita setelah semua makanan lenyap di perut masing-masing, tibalah di acara yang ditunggu-tunggu. Truth or Dare. Sialnya, giliran pertama adalah aku dan pertanyaan yang mereka ajukan sangatlah beresiko, “Apa kamu pernah baper sama Haykal?”. Sedikitpun aku tak pernah kepikiran hal itu, tapi justru sekarang aku malah kebingungan menjawabnya. Jika aku menjawab “Ya” sebenarnya tidak, tapi jika aku menjawab “Tidak” aku rasa tidak mungkin aku tidak pernah terbawa perasaan padanya.
“Gak tau,” akhirnya itu yang keluar dari mulutku.
Untungnya mereka terima saja dengan jawabanku. Selang beberapa giliran, tibalah giliran Haykal dan mereka menanyakan hal yang sama seperti pertanyaanku. Aku tertawa, pastinya Haykal menjawab tidak dengan tegas karena memang dia orangnya kelewat friendly. Namun ternyata jawabannya di luar nalar, “Nggak, karena Nadhifa punya pacar.”
“Berarti kalau Nadhifa jomblo lo baper?” ada yang bertanya seperti itu.
“Gak tau, mungkin.”
Ya, fun fact selama masa KKN aku sedang dalam suatu hubungan dan hubungan ini sedang renggang bahkan aku sudah berniat mengakhirinya sejak seminggu setelah menjalaninya. Tapi aku tidak pernah bisa mengakhirinya dengan dalih takut menyakiti hatinya. Detik ketika aku mendengar jawaban Haykal aku menyadari sesuatu yang selama ini aku menolak sadar. Aku sudah memiliki perasaan yang berbeda pada Haykal.
Silahkan katakan aku jahat karena memang benar, tepat di hari kepulangan dari desa aku mengakhiri hubungan dengan kekasihku yang sebelumnya. Jahatnya lagi, di malam harinya aku keluar bersama teman-teman KKN-ku, poinnya bukan disitu, tapi di malam itu aku lebih dekat dengan Haykal tanpa rasa berdosa. Di malam itu pun aku merasakan ada yang berbeda dengan Haykal, mulai dari penampilannya, hingga sikapnya padaku. Bahkan malam itu kami berdua membeli gelang pasangan.
Hari demi hari kami lewati bersama, sejak kepulangan KKN ruang pesan Haykal selalu ada di notifikasi teratas. Aku pun menyadari, perasaan berbeda ini adalah rasa kagum yang berkembang jadi cinta. Di satu waktu, Haykal mengirim pesan yang mendorongku untuk menyatakan perasaan. Bodohnya aku terpancing dan secara tidak langsung aku sudah mengatakan kalau aku menyukainya. Tapi, Haykal ternyata tidak. Kecewa, sakit hati, bingung bercampur jadi satu. Bukan karena Haykal mengatakan tidak, tapi ada lanjutan dari pesannya itu. Aku udah nyaman sama kamu dan lagi berusaha buat suka sama kamu. Dan aku membalasnya, aku akan berusaha dan sabar menunggumu.
Secercah harapan itu membuatku selalu bersemangat menjalani hari-hari. Setiap ada kesempatan, aku berusaha membuat Haykal semakin nyaman denganku dan selalu berusaha ada saat dia membutuhkanku. Juga saat masa perkuliahan dimulai aku selalu menjemput Haykal di hari Senin pagi untuk berangkat bersama, aku yang menjemputnya karena Haykal tidak ada sepeda motor, tapi tenang saja dia yang memboncengku. Selain itu, setiap selesai kelas dia mengajakku sarapan di Warung Prasmanan Mama yang ada di belakang Polinema. Tempat itu akan selalu kuingat karena menjadi saksi bisu perjuanganku, bukan sekali dua kali aku berpura-pura belum makan hanya demi bisa makan bersama, konyol, tapi itulah perjuangan.
Perjalanan kedekatanku dengan Haykal bagai roller coaster, naik turun dengan cepat. Kadangkala aku merasa hilang harapan tapi hari berikutnya muncul harapan. Siklus itu terulang terus menerus selama dua bulan hubungan tanpa status ini. Satu hari aku melihat hujan turun tiba-tiba dan tanaman yang dibasahi oleh hujan itu. Sebagai penulis roman picisan, sepintas kata-kata lewat dipikiranku. Dia, Haykal, seperti hujan. Datang tak bisa ditebak. Sedang aku adalah tanaman, ah jelek sekali, aku adalah bunga. Yang hanya bisa diam menunggu hujan datang dan ketika hujan itu berhenti yang bisa dilakukan hanyalah menunggu hujan turun lagi. Haykal pun tau aku menyebutnya sebagai hujan karena aku sering membuat cerita di instagram dan dia tau itu dirinya. Bahkan dia pernah menggodaku ketika hujan turun, aku udah nyalain hujannya.
Suatu hari, hujan itu tiba-tiba datang tanpa aba-aba. Haykal akhirnya mengatakan kalau dia sudah mulai menyukaiku. Bahkan di malam harinya dia menggenggam tanganku untuk pertama kalinya. Bahagia bukan main merasakan semua perjuanganku akhirnya terbalaskan dengan baik. Dua bulan itu terasa sangat lama ketika aku memperjuangkannya, dihiasi hujatan dari teman dekat yang selalu mengatakan aku ini bodoh. Sejak malam itu kedekatanku dan Haykal berbeda dari sebelumnya, aku merasa cintaku sudah tidak bertepuk sebelah tangan lagi walaupun berjalan tanpa status.
Aku tersadar dari lamunanku dan berhenti mengingat memori indah bersama Haykal. Kakiku berjalan menuruni tangga dan kulihat dia berjalan ke arahku sambil tersenyum. Tak kalah aku membalasnya dengan senyuman yang sangat tulus. Aku menunduk saat dia semakin dekat dan dia menghampiri perempuan yang ada di belakangku. Sedangkan aku pergi melewatinya.
Tanpa disadari air mata sudah membasahi pipi, dadaku mulai terasa sesak, aku segera berlari dari sana sebelum seseorang menyadarinya. Di atas sepeda motor aku kembali mendongak ke atas langit yang masih mendung sejak awal. Hujan itu tidak mau turun sejak tadi karena dia sudah nyaman dengan langit, padahal di bumi ada bunga layu yang membutuhkannya. Sudah kubilang sejak awal aku tidak sedang membicarakan hujan, langit, maupun bunga layu.
Siapa sangka hujan berhenti secepat itu dan tidak ada keinginan untuk turun lagi karena ada sang langit menahannya. Ternyata sang bunga lupa menanyakan hujan apa yang akan turun saat itu, dia terlalu larut dalam kebahagiaan hingga tidak sadar hujan bisa berubah menjadi badai kapan saja tanpa perlu izinnya. Bunga pun tidak bisa mengungkapkan kekecewaannya pada hujan, dia hanya membisu, dan menunggu lagi. Sekalipun hujan tak akan kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar