Rapuh
"Nada, aku berjanji padamu, aku akan menemuimu lagi,"
"Apa kau yakin akan pergi, Gema?"
"Aku bisa apa, orang tuaku meminta begitu--"
Gema mengambil secarik kertas dan bolpoin kecil dari kantung bajunya. Dia menyodorkannya pada Nada.
"Tulis nomor handphonemu," ujarnya.
Nada mengangguk. Dia menuliskan nomor handphone mamanya di kertas yang diberikan Gema karena saat itu Nada belum memiliki handphone sendiri.
"Aku akan rutin menghubungimu!" ujar Gema dengan semangat.
"Baiklah, tepati janjimu, Gema,"
"Pasti--"
"Ambil ini"
"Itu adalah bukti aku akan menepati janjiku,"
Malang, 14 Juli 2019
Momen itu masih terekam di otak Nada. Nada berpikir Gema pasti sudah melupakan janjinya karena itu hanyalah janji dua anak SD. Mana mungkin dia serius.
"Gema Dirgantara, tiga puluh satu Desember dua ribu tujuh," Nada mengeja tulisan pada secarik kertas yang hampir rapuh.
"Aku masih ingat janjimu, apakah kau di sana masih ingat?" gumamnya.
"Nad kau sedang apa? Ayolah, kita sudah hampir telat!"
Nada melirik jam dinding yang menempel di kamar kosnya. "Astaga! Ayo Lun cepat!" dia segera mengambil tasnya lalu keluar dari kamar begitu saja.
"Huh dasar, baru hari pertama aja begini," cibir Luna lalu beranjak dari sana.
Setelah Luna mengunci pintu kamar kosnya, dia mengikuti Nada yang sudah berada di gerbang. Luna lihat Nada terus saja memerhatikan secarik kertas yang hampir rapuh.
"Apa bagusnya kertas tua itu Nad? Sejak pagi kau memerhatikan itu saja, sampai lupa jam ngampus," ujar Luna sambil menggelengkan heran.
"Aku masih kepikiran Gema,"
"Oh my God. Sejak dia pindah kamu masih mikirin dia terus? Aduh Nad, itu cuma janji monyet," sahut Luna.
Nada menyatukan dua alis tebalnya, "Janji monyet? Kukira hanya ada cinta monyet,"
Luna mendengus kesal. Dia terus berjalan begitu saja tanpa menggubris pertanyaan dan pernyataan dari Nada.
Akhirnya mereka berdua sampai di kampusnya. Nada menatap gerbang kampus itu dengan rasa bersyukur dan bangga.
"Universitas Brawijaya," batinnya.
Tanpa banyak berbicara lagi, Nada dan Luna masuk menuju lapangan universitas. Di sana dia melihat para mahasiswa baru berkumpul.
"Yuk ke sana," ajak Luna.
Satu menit setelah Nada dan Luna ikut berkumpul, para senior datang. Seketika suasana menjadi hening dan barisan menjadi sangat rapi.
"He kau!" salah satu senior itu menunjuk ke arah Nada.
"Saya?"
"Ya!" kelihatannya senior itu sangat tidak menyukai Nada.
Nada pun maju menghampiri senior yang memanggilnya. Senior itu menatap Nada dengan tajam.
"Beraninya ngecat rambut," ucapnya dengan sinis.
Para mahasiswa baru mendengar perkataan senior itu, tak ada satu pun yang berani mencibir ataupun membela Nada.
"Ini asli kak," jawab Nada dengan tenang karena memang rambutnya asli berwarna pirang.
"Halah alasan!"
Senior lainnya hanya bungkam. Yang sedang memarahi Nada adalah senior tertinggi.
"Karina, sudah jangan marah-marah," ujar senior yang lain.
Karina, nama senior yang sedang memarahi Nada. Karina mengambil botol air mineral ukuran besar, dia membukanya, lalu mengguyangkannya ke rambut Nada. Semuanya terbelalak melihat perlakuan Karina pada Nada.
Nada mengusap wajahnya yang sedikit basah. Emosinya kali ini sudah pada puncaknya, "Kak! Jadi senior jangan seenaknya!"
"Eh eh, udah melanggar peraturan sekolah, sekarang berani sama senior," Karina tersenyum miring.
Dari barisan Luna ingin sekali menghajar Karina, namun dia ditahan oleh seseorang yang melewatinya.
"Mau ngomongin senioritas?" Ujar cowok yang melewati Luna. Seluruh mata kini tertuju padanya, termasuk Nada.
"Mampus aku," batin Karina.
Cowok yang melewati Luna adalah senior yang tingkatnya lebih tinggi dari Karina. Karina langsung kaku.
"Lanjutin Kar," cowok itu mengangkat handphonenya menghadapkan kameranya ke arah Karina.
"Cih!" Karina melenggang pergi dari sana.
Cowok itu menghampiri Nada. Dia melepas almamaternya lalu menyelimutkannya pada Nada .
“Aduh tahu gitu tadi aku aja yang di sana! Rela deh diguyang sama kak Karina, kalau akhirnya dihangatin senior ganteng!” cibir para mahasiswi baru.
“Maaf atas kelakuannya,” ujar cowok itu dengan lembut.
Sejak tadi pandangan Nada tak teralihkan sedikit pun dari cowok itu. Nada memicingkan matanya karena di sana terlalu panas untuknya.
“Nad!” Teriak cowok itu saat badan Nada mulai melemas. Dengan sigap dia menangkap badan Nada lalu menggendongnya menuju ruang kesehatan.
“AAA MELTING!” teriak para mahasiswi di sana.
“Dih alay,” reaksi para mahasiswa melihat tingkah para mahasiswi.
Cowok itu terus menggendong Nada dan akhirnya dia sampai di ruang kesehatan. Cowok itu membaringkan tubuh Nada di ranjang dorong di sana. Cowok itu mengedarkan pandangannya, tidak ada satu pun petugas di sana. Tak sengaja matanya menangkap kotak P3K. Cowok itu beranjak ke sana untuk mengambil minyak kayu putih.
“Nad bangun Nad,” ujar cowok itu seraya mendekatkan minyak kayu putih pada hidung Nada.
Perlahan mata Nada mulai terbuka. Matanya tertuju pada cowok yang duduk di kursi sebelahnya. Nada merasa tidak asing dengan wajah itu.
“Gema?”
“I-iya. Ini aku,”
Cowok itu ternyata adalah Gema. 12 tahun lamanya mereka tidak bertemu dan sekarang Tuhan mempertemukannya, di tempat tujuan mereka.
“Ternyata, kamu masih ingat janji kita. Bertemu di universitas ini,” Gema tersenyum pada Nada.
Dalam hati Nada sangat bersyukur bisa bertemu dengan Gema lagi.
Terima kasih Tuhan. Baru saja aku memikirkannya, kau langsung mempertemukannya denganku. Batin Nada.
>>><<<
Semenjak bertemu Gema kembali, Nada menjadi sosok yang sangat ceria. Akhir-akhir ini dia sering jalan berdua, mengerjakan tugas kuliah, makan bersama, jelasnya semua dilakukan bersama dengan Gema.
“Kamu kenapa Gem?” tanya Nada ketika menyadari kesedihan di wajah Gema.
“Nad, aku.. suka kamu,” Gema meraih tangan Nada.
Mendengar itu Nada sedikit terkejut. Tapi, sebenarnya dia juga merasakan hal yang sama.
“A...aku juga,” ujar Nada secara terpatah-patah.
“Tapi Nad-“
“Aku bukan Gema,”
Nada tertawa, “Jangan bercanda deh Gem”
“Aku serius. Aku bukan Gema—“
“Aku Gama Dirgantara, kembaran Gema”
Apa? Bagaimana aku tidak tahu kalau Gema punya kembaran? Lalu Gema di mana?!
Nada terbelalak tidak percaya dengan ucapan cowok di depannya yang sejak kemarin dia panggil Gema, tapi ternyata dia bukanlah Gema.
“L-lalu Gema di mana?!” kekhawatiran mulai menguasai hati Nada.
“Ada di sampingmu,”
Perkataan Gama sukses membuat Nada kebingungan. “Mana? Tidak ada!” ujar Nada sambil mengedarkan pandangannya.
“Dia selalu bersamamu, ”
“Berhentilah bercanda! Katakan Gema ada di mana!” bentak Nada pada Gama.
“Baiklah, ayo”
Gama menuntun Nada menuju sepeda motornya. Setelah Nada sudah naik, Gama melajukan motornya menuju tempat di mana Gema berada.
“Kenapa kesini?” Nada heran saat Gama menghentikan sepedanya di depan Rumah Sakit Mitra.
Gama menarik tangan Nada untuk masuk. Dia mengabaikan pertanyaan Nada. Sampailah mereka di depan ruang ICU, Gama mengajak Nada untuk masuk ke sana.
Apa yang terjadi?
Nada melihat orang yang selama ini dia nantikan, Gema. Gema terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit, wajahnya sangat pucat, badannya sangat kurus. Tidak seperti Gema yang ia kenal dulu yang wajahnya ceria.
“Ge-Gema kenapa Gam?” Nada menutup mulutnya tak percaya dengan keadaan Gema saat ini.
Gama menceritakan kronologi bagaimana Gema bisa menjadi seperti ini.
--Liburan sudah berakhir, Gema dan Gama sedang mempersiapkan keberangkatannya menuju Malang. Mereka sudah masuk semester ke lima, Gema berada di jurusan kedokteran, sedangkan Gama di jurusan hukum.
“Tahun ini aku akan bertemu dengan Nada lagi Gam!” ujar Gema dengan semangat.
“Cie ketemu cinta lama nih, emang kamu yakin Nada bakal kuliah di sana juga?” Gama masih fokus mengemasi barang-barangnya.
Gema mengangguk dan tersenyum, “Ya, waktu itu dia berjanji”
Setelah persiapan Gema dan Gama selesai, mereka segera berangkat ke terminal. 10 menit berlalu, mereka sudah sampai di terminal. Bus tujuan Purwokerto – Malang sudah datang, Gema dan Gama berjalan menghampiri bus itu.
“Nada, sedikit lagi aku akan menepati janjiku,” batin Gema sambil tersenyum bahagia.
“Ehm. Ketemu langsung tembak dia Gem! Kalau kelamaan aku tikung nih,” goda Gama pada kembarannya.
“Enak aja! Berani nikung kuhabisi kau, hahaha”
Setelah 15 menunggu penumpang lainnya, akhirnya bus itu berjalan. Di tengah perjalanan Gema melihat-lihat pemandangan dari kaca, hatinya sangat tenang ketika memikirkan dia akan bertemu dengan Nada.
“Kertas itu pasti sudah rapuh kan? Tapi tekadku tidak akan rapuh, sebelum aku bisa menemuimu lagi” batinnya.
“Gem, ada orang mencurigakan,” bisik Gama pada Gema.
Mendengar itu Gema mengedarkan pandangannya kepada para penumpang. Benar yang dikatakan Gama, ada dua orang bersenjata duduk di bangku paling belakang. Pria bersenjata itu membungkam penumpang yang berada di sebelahnya.
“Gam, sepertinya bus kita dibajak,” bisik Gema dengan hati-hati.
“Aku takut Gem,”
“Gak usah takut, ikuti saja permainan mereka. Ketika mereka lengah, aku akan melakukan perlawanan,” ujar Gema dengan pelan.
“Jangan! Lebih baik kita serahkan apa yang kita punya, nyawamu lebih berharga Gem,” Gama memohon pada Gema untuk tidak melakukan perlawanan pada dua penjahat itu.
“Tidak, percayalah. Aku ingin melindungi semua penumpang di sini,”
Di tengah perjalanan, dua penjahat itu sudah melakukan pembajakan secara terang-terangan. Sopir bus itu pun ketakutan, dia menuruti apa yang diminta oleh dua penjahat itu. Melihat itu Gema beranjak dari kursinya, dia melihat ada orang yang membawa stik baseball.
“Mas, saya pinjam boleh?” ujar Gema pada pria yang membawa stik baseball itu.
“I-iya” dia tampak ketakutan. Tidak hanya dia, seluruh penumpang di sana merasa ketakutan.
Gema berjalan dengan hati-hati menuju bagian depan bus. Dua penjahat itu tidak menyadari keberadaan Gema yang sudah tepat di belakangnya. Dengan stik baseballnya Gema berhasil membuat satu penjahat itu tumbang. Sontak kawan penjahat itu mengarahkan pistol pada Gema. Para penumpang pria di sana turut membantu Gema, seseorang berhasil menahan tangan penjahat itu sebelum menembakkan pistolnya pada Gema.
“He! Jangan macam-macam kalian!” bentak penjahat itu.
Gama membuka pintu bus yang masih terus berjalan. Penumpang yang berhasil menangkap penjahat, dia mendorong penjahat itu keluar dari bus. Semuanya bisa bernapas lega kembali. Namun ada yang mereka lupakan, masih ada satu penjahat di sana. Penjahat itu berhasil bangun.
DOR!
Dalam posisi telentang penjahat itu berhasil menembakkan peluru tepat di kepala Gema. Seseorang menangkap tubuh Gema yang sudah roboh. Gama menutup mulutnya tak percaya. Dia menghampiri penjahat itu lalu memukulinya habis-habisan dan mengambil senjatanya, setelah penjahat itu cukup lemah Gama melemparkannya keluar dari bus, masih kurang menurutnya, Gama pun menembak penjahat itu. Gama menutup pintu bus, kemudian dia berlari ke arah Gema.
“PAK! CARI RUMAH SAKIT SEKITAR SINI SECEPATNYA!” Teriak Gama pada sopir bus itu.
“Baik! 200 meter lagi ada rumah sakit!”
“Gema bertahanlah demi Nada!” Gama memeluk tubuh kembarannya.
Mata Gema masih terbuka, “ Ga-ma... Ji ji jika ka-mu ber—te—mu Naa-Da, me-mengakulah s-sebaga-i di—diriku,”
Mendengar cerita dari Gama mata Nada sudah tidak mampu membendung air matanya. Air mata itu berhasil lolos bahkan tidak bisa berhenti.
“Ge-gema,”
“Tunggulah sejenak, mungkin dia sedang tidur,” ujar Gama.
Nada mengangguk. Dia menatap Gema dengan penuh kesedihan.
“Gam, aku ingin ke kamar mandi sebentar,” ujar Nada lalu melenggang pergi dari sana.
“Gema,”
Mendengar suara Gama, Gema membuka matanya. Matanya menatap tajam mata Gama.
“Gam, kamu berkhianat,” ujarnya.
“Tidak, kaulah yang berkhianat Gem. Nada selalu menanti saat kau menetapi janjimu, tapi kau malah menghindar untuk bertemu dengannya,” balas Gama.
“Apa pun itu! Kaulah pengkhianat! Kenapa kau berhenti mengaku sebagai diriku?! Bahagiakan Nada! Dia tidak akan bisa bahagia dengan kondisiku sekarang! Bawa dia pergi dari sini!” bentak Gema.
“Nada mencintaimu Gem!”
Dari luar Nada mendengarkan perbincangan dua cowok kembar itu. Hati teriris karena perkataan Gema.
“Jika kau seperti ini, seharusnya tidak perlu berjanji. Kau tahu? Sekarang hatiku lebih rapuh daripada kertas itu,” tanpa Nada sadari air matanya melolos begitu saja.
“Ya aku tahu! Tapi sekarang aku lumpuh! Tidak mungkin aku bisa membuatnya bahagia!”
Mata Nada terbelalak mendengar perkataan Gema. Dia melangkah cepat lalu membuka pintu ruang ICU.
“Gema. AKU MENCINTAIMU APA ADANYA!”
Mata mereka tertuju pada Nada. Gema menatap mata Nada dengan rasa bersalah, dia telah mengatakan sesuatu yang pasti membuat hati Nada teriris. Namun, di hati Gema, dia ingin melihat Nada bahagia meskipun bukan dengannya.
“Aku tak peduli kondisimu, aku tak peduli! Kau ingin aku bahagia kan?” Nada menatap mata Gema dengan penuh tanya
Gema hanya mengangguk.
“Bahagiaku DENGANMU,” Nada menekankan kata terakhirnya.
Perasaan Gema terenyuh karena Nada. Dia merasa dirinya telah egois, memutuskan sesuatu sendirian, dan mengkhianati janji mereka. Tanpa Gema sadari, dia telah menitikkan air mata. Melihat itu Nada segera mendekati Gema lalu menghapus air matanya.
“Aku mencintaimu, perasaan yang selalu sama sejak dulu. Tapi aku baru sadar, ini yang dinamakan perasaan cinta,” ujar Nada dengan lembut.
“Kau sudah dengar sendiri dari Nada. Bagaimanapun aku menyamar sebagai dirimu, suatu saat juga akan terbongkar,” sahut Gama.
Gema tak bisa berkata, dia sadar dialah yang bersalah. Nada menatap Gema yang sedang menunduk. Dia mendekat, lalu mendekapnya.
“Tepati janjimu Gem,” ujar Nada masih terus mendekap Gema.
Gema tersenyum, “Maafkan keegoisanku, aku akan menepati janjiku,” Gema membalas pelukan Nada.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar